Malam itu sang guru sedang asyik membaca sebuah buku yang berjudul Menjadi Manusia Pembelajar yang ditulis oleh Andreas Harefa. Halaman demi halaman mata sang guru menurut kata demi kata sambil sesekali memandang langit-langit ruang kamarnya sembari memikirkan sesuatu. Segelas air bening pun tak ketinggalan ada di atas meja kerjanya tepat di samping laptop yang dengan setia menanti jari jemari sang guru menyentuh dan mengukir kata demi kata akan sebuah kehidupan yang lebih baik dan bermakna.
Buku, langit-langit ruangan, air bening, dan laptop bak penonton pertunjukan teater sang guru di sebuah
setting ruang kerjanya yang membawa sang guru pada sebuah alur untuk menjadi manusia pembelajar. Berbagai figura kenangan masa lalu bersama keluarga, kolega, teman, dan para siswa begitu indah tersenyum serasa musik simponi yang mengiringi “teater” ruang kerja itu.
Sang guru menjadi seorang tokoh utama dalam sebuah teater ruang kerja itu. Tampak dia masih termenung dan menghela napas dalam-dalam sembari meletakkan buku yang sedang dibacanya tepat di samping laptop itu. Perlahan-lahan siku tangan sang guru mencoba meraih permukaan meja yang halus datar itu dan dengan halus telapak tangan itu menyangga pipi sang guru. Serasa menemukan posisi terbaiknya, sang guru pun hanyut dalam pikiran dan lamunannya.
Mereka Berbeda
Pikiran itu mencoba memutar peristiwa beberapa minggu ini, saat-saat sang guru berada di dalam kelas bersama para murid untuk belajar bersama. Alur pikran itu pun mulai tertuju pada seorang siswi, Vestra namanya. Anak itu begitu diam di kelas dan jarang sekali dia bertanya saat pembelajaran. Namun tulisannya sangat bagus, berbobot dan bermakna. Refleksinya pun sangat mendalam dan disampaikan dalam tulisan begitu lugas. Serasa kontras dengan karakter permukaan yang tampak di mana sangat pendiam dan berbicara seperlunya. Bahkan tatkala dia harus bicara, yang terjadi adalah apa yang dikatakan justru sulit dimengerti karena tidak jelas.
Beda halnya dengan Vestra, ada anak lain yang bernama Filius yang begitu energik bertanya dan mengajukan pendapat saat pembelajaran berlangsung. Bahkan dia tak segan-segan untuk beradu argumen dengan teman-teman dan sang guru. Dia adalah anak yang begitu pandai berkata-kata dengan pola pikir yang tajam dan logis. Dia sangat identik dengan seorang orator ulung. Memang Filus bukanlah anak yang sempurna karena dia sangat lemah jika harus menguraikan pikirannya ke dalam bentuk tulisan. Bahkan tak jarang dia mendapat nilai jelek jika harus mengikuti ulangan tertulis. Beda halnya kalau dia harus ujian lisan atau presentasi, maka bisa dipastikan dia akan menjadi jawaranya.
Bahkan ada sekelompok anak yang senang mendengarkan apa yang dikatakan sang guru, dari cerita sang guru, penjelasan sang guru tentang materi, atau apapun yang dikatakan sang guru. Dea, Ade, dan Ina ini sering duduk di bagian depan karena dengan demikian mereka bisa mendengarkan apa yang dikatakan sang guru dengan fokus tanpa gangguan teman-teman yang lain. Bahkan kadang ketika ada guru lain yang hobi dengan ceramah selama satu jam pelajaran, mereka berusaha merekamnya sehingga mereka dapat mendengarkannya di rumah untuk dipelajari lagi.
Ada juga kelompok siswa yang lain yang lebih menyukai belajar di perpustakaan atau ditugasi sang guru untuk membaca berkaitan dengan topik tertentu. Bagi orang seperti Andre, Andri, atau Audri belajar dengan membaca adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Bahkan untuk mengisi waktu luang, mereka pun banyak menghabiskan waktu untuk membaca, seperti novel atau buku-buku dengan topik tertentu.
Pembelajaran untuk Perbedaan
Lamunan sang guru kala itu telah mengingatkan sang guru akan begitu berbedanya para siswa di kelasnya. Gaya belajar mereka sangat berbeda satu sama lain. Ada yang pendiam tapi begitu handal dalam menulis. Atau yang sebaliknya, begitu lihai berkata-kata namun sangat lemah ketika harus menuliskannya. Bahkan perbedaan lain pun terjadi, seperti ada siswa yang lebih gemar dengan mendengarkan tetapi siswa lain lebih suka dengan membaca.
Sang guru pun semakin diyakinkan bahwa tidak mungkin akan menemukan siswa yang sama semua gaya belajarnya dalam satu kelas. Perbedaan itu bukan sebuah kesalahan tetapi justru menjadi motivasi untuk sang guru dapat mendesain pembelajaran yang merangkul perbedaan itu sehingga mereka dapat belajar dengan nyaman dan termotivasi untuk terus belajar.
Di saat sang guru terus meresapi pikirannya hingga masuk ke dalam kesadarannya, matanya pun segera tertuju pada buku yang baru saja dia baca untuk menjadi manusia pembelajar. Dengan senyum tipisnya, sang guru semakin dikuatkan bahwa fenomena perbedaan itu adalah sebuah anugerah yang besar baginya untuk terus menjadi menusia pembelajar tanpa mengenal henti. Selama nafas terus berhembus dan darah terus mengalir, tidak ada alasan bagi sang guru untuk diam dan menutup diri akan pembelajaran yang maha dahsyat itu.
Segera sang guru melangkahkan kakinya mengambil sebuah kertas yang agak besar ukurannya yang tepat berada di pojok dekat jendela ruang tidurnya. Kertas itu ditempelkan di ruang kerjanya dan segera tangan sang guru mulai menuliskan sesuatu di kertas itu dengan dihiasi berbagai gambar dengan berbagai variasi warna. Setelah semuanya selesai, sang guru pun tampak lega dan tersenyum lebar memandang semuanya itu.
“Aku harus sadar bahwa muridku berbeda”, itulah bagian paling atas tulisan sang guru. Tampak sang guru berusaha menegaskan kesadarannya akan perbedaan itu. Sang guru berusaha meyakinkan dirinya bahwa bahwa perbedaan itu bukan alasan yang menyebabkan muridnya tidak bisa belajar optimal, tetapi justru perbedaan itu menjadi alasan yang kuat bagi sang guru untuk merangkul semuanya dalam sebuah pembelajaran yang mengakomodasi perbedaan. Sebuah cara memotivasi diri sendiri dilakukan oleh sang guru.
“Pembelajaran untuk anak, Bukan untuk AKU”, itulah tulisan kedua di kertas itu. Sang guru kembali meyakinkan dirinya bahwa dalam mendesain pembelajaran bukan mempertimbangkan diri sang guru tetapi justru mempertimbangkan kebutuhan dan gaya belajar anak-anak. Sang guru mencoba mengkritik dirinya sendiri karena kadangkala terjebak pada situasi egoisme dalam pembelajaran. Mengajar hanya materi yang disukai guru, mengunakan metode yang disukai guru, menilai pun menggunakan metode yang tidak merepotkan guru. Sebuah kesadaran mulai dibangun sang guru bahwa dalam mendesain pembelajaran seharusnya berfokus pada siswa.
“Jangan lupa refleksi!”, ini tulisan terakhir yang dibuat sang guru. Seolah-olah sang guru mencoba mencernakan dan mendarah-dagingkan kekuatan refleksi itu baik dalam pembelajaran maupun dalam keseharian sang guru sebagai pribadi. Sang guru berusaha menjadikan pembelajaran adalah sebuah proses menggali pengalaman bersama yang harus selalu dimaknai. Bahkan, sang guru mencoba menguatkan kesetiaannya akan pentingnya refleksi dalam hidup. Kesetiaan itu adalah kemauan untuk menempatkan lima sampai sepuluh menit di malam hari untuk selalu memaknai segala hal yang sudah terjadi.
Belajar dari perbedaan para siswa dalam gaya belajar yang bervariasi telah membawa sang guru pada sebuah permenungan yang tertuang dalam sebuah kertas yang terpajang di ruang kerjanya. Akhirnya, “teater” ruang kerja tentang perbedaan itu perlahan-lahan usai seiring sang guru berjalan menuju ruang tidurnya dan menghabiskan malam dalam perlindungan alam semesta dan penguasanya.
0 comments:
Post a Comment