Thursday, May 27, 2010

Perkembangan Kurikulum di Indonesia

Menyimak Perkembangan Kurikulum
di Indonesia
Banyak ungkapan pertanyaan : “ Mengapa kurikulum di negara kita sering berubah?”, dan sering juga ada pernyataan jawaban : ” Biasa ganti Menteri, ya ganti kurikulumnya”. Benarkah demikian ? Mari kita melihat secara global tentang perjalanan sejarah kurikulum kita.

Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, dan 2004, serta yang terbaru adalah kurikulum 2006.
Perubahan tersebut merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam masyarakat berbangsa dan bernegara. Sebab, kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945, perbedaanya pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan dalam merealisasikannya.

Artikel berikut memberikan diskripsi singkat kepada kita tentang kurikulum apa saja yang pernah dikembangkan dalam program pendidikan di negeri tercinta Indonesia. Salah satu konsep terpenting untuk maju adalah "melakukan perubahan", tentu yang kita harapkan adalah perubahan untuk menuju ke perbaikan dan sebuah perubahan selalu di sertai dengan konsekuensi-konsekuensi yang sudah selayaknya di pertimbangkan agar tumbuh kebijakan yang bijaksana.

Berikut perjalanan sejarah pengembangan  kukulum di negara kita,



I. Pendahuluan
Perjalanan sejarah bangsa telah mencatat bahwa perubahan pergantian kurikulum pendidikan yang semestinya mengantarkan bangsa dan rakyat Indonesia untuk eksis dalam percaturan global ternyata justru terbalik dengan kenyataan yang ada. Negeri ini malah kian terpuruk dan tertinggal dengan bangsa-bangsa lain.
Oleh karena itu, dengan membuka lembaran sejarah kurikulum di Indonesia, diharapkan pemerintah dan segenap komponen bangsa yang terkait langsung menangani pendidikan di Indonesia untuk mencari formulasi yang ideal dalam mengembangkan kurikulum yang bernuansa global, kuat dalam visi dan tidak menghilangkan nuansa kepribadian bangsa Indonesia.
Menilik benang merah sejarah Indonesia merdeka, haruslah diakui bahwa politik “etis” kolonial Belanda sekitar tahun 1900-an yang bersifat setengah hati, karena tuntutan abad pencerahan di Eropa, telah memberikan semangat nasionalisme dan intelektualisme. Dimana pendidikan diyakini sebagai jembatan emas menuju pencerahan dan kemerdekaan bangsa. Tokoh-tokoh seperti Wahidin Sudirohusodo, Soewardi Suryaningrat atau yang dikenal sebagai Ki Hajar Dewantoro, Soekarno dan Muhammad Hatta adalah contohnya.
Jika kemudian, setelah 60 tahun lebih Indonesia merdeka, tunas-tunas bangsa tidak semuanya dapat mengenyam pendidikan yang layak bagi kemanusiaan, inilah persoalan bangsa yang seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah dan semua pihak.
Sementara itu, bagaimana peran kurikulum dalam proses pendidikan ? Hal ini tentu saja merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan, sebab kurikulum adalah jantungnya pendidikan. Oleh sebab itu, dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana telah diamanatkan UUD 1945, adalah menjadi tugas utama pendidikan yang digariskan dalam kurikulumnya.
Undang-undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dari pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar (Pasal 1). Demikian pula bahwa untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional kurikulum disusun, dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional. Perkembangan IPTEK, serta kesenian sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan (Pasal 37).
Mencermati pasal 1 dan 37 Undang-undang tersebut dalam perkembangan masyarakat global, khususnya yang menyangkut IPTEK, seharusnya Indonesia menjadi bagian dari kompetisi itu. Untuk itu, segala perkembangan masyarakat dunia perlu menjadi masukan sebagai bahan kajian serta diterapkan dalam pola-pola kehidupan masyarakat Indonesia. Fenomena tersebut akan menjadi bahan acuan dalam upaya pengembangan kehidupan masyarakat di segala bidang, khususnya dalam penyusunan kurikulum pendidikan. Dengan demikian peran dan fungsi kurikulum bagi proses pendidikan adalah sebagai acuan pokok di dalam pelaksanaan proses pendidikan. Dengan demikian, maka seharusnya kurikulum tidak mengatur secara detail mengenai bagaimana proses atau teknisnya, tetapi persoalan ini diberikan kepada sekolah untuk pengelolaannya dengan manajemen berbasis sekolah (MBS), alasannya adalah tidak semua sekolah di Indonesia memiliki karakteristik yang sama. Oleh karena itu muatan lokal kurikulum diberikan kepada sekolah atau daerah.
Hal itu sesuai dengan pasal 38 ayat 3 UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003, bahwa kurikulum Dikdasmen dikembangkan sesuai dengan relevansi setiap kelompok atau satuan pendidikan dan komite sekolah atau madrasah (Nyoman S, 2000)
Implementasi kurikulum pendidikan pada tingkat pembelajaran di sekolah merupakan tanggung jawab guru dan sekolah dalam bentuk kegiatan belajar mengajar, baik besaran atau banyaknya jam pelajaran, maupun evaluasinya sebagai bagian terpadu dari strategi belajar mengajar yang direncanakan dengan baik (S. Prasetyo Utomo, 2006).

II. Permasalahan
Mencermati uraian di atas, ada tiga permasalahan yang akan dikupas dalam makalah ini, yaitu :
1. Bagaimana kurikulum pendidikan menjadi bagian dari kepentingan birokratis politis ?
2. Bagaimana pelaksanaan kurikulum di Indonesia ditinjau dari sejarah pelaksanaannya ?
3. Bagaimana sebaiknya guru dan sekolah menyikapi perubahan kurikulum pendidikan ?

III. Pembahasan
3.1. Pendidikan dan Kepentingan Birokratis Politis
Sejak kurikulum pendidikan pertama diberlakukan (kurikulum 1947) hingga sekarang, tampaknya ada degenerasi dalam hal tujuan pendidikan. Bahkan elitisme dan komersialisasi pendidikan semakin mereduksi makna pendidikan dan mengancam nilai-nilai moral dan idealisme pendidikan itu sendiri.
Catatan Shindunata dalam sampul majalah Basis menggaris bawahi, “Bahwa pendidikan hanya menghasilkan air mata”. Ilustrasinya berupa air mata meleleh dari kelopak mata seorang ayah yang tertusuk pulpen
Banyak ahli dan pemerhati pendidikan sangat prihatin. Bahkan ada yang menarik tali sejarah lebih panjang lagi ke zaman Jepang sejak masuknya tahun 1942 sebagai masa yang dilansir oleh Selamet Imam Santoso (1995). Praktik pendidikan di Indonesia sudah mengalami keterpurukan sejak zaman Jepang dan bersambung sampai zaman kemerdekaan. Ada mitologi yang berkembang, bahwa baik tidaknya pendidikan nasional, senantiasa hanya dilihat sebagai solusi keterpurukan bangsa (Sularto, ST, 2005).
Empat bulan setelah Indonesia merdeka, dunia pendidikan nasional mulai dibenahi. Pada tahun 1947 terbentuklah “Sistem Persekolahan” sesuai dengan UUD 1945, termasuk Sekolah Rakyat (SR) enam tahun. Sistem itu sempat dipraktikkan dan dikembangkan, barulah tahun 1960 tersusun undang-undang yang menjadi paying hukum kegiatan pendidikan.
Sesuai dengan keputusan MPRS No. II/MPRS/1960 tentang Manusia Sosialis Indonesia, disusunlah rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional berdasarkan Keppres No. 14 Tahun 1965. Kemudian keluar dari Keppres No. 19 Tahun 1965 tentang pokok-pokok Sistem Pendidikan Nasional Pancasila. Jiwa dan Visi kurikulum adalah gotong royong dan demokrasi terpimpin.
Orde lama runtuh, keluar Ketetapan MPRS No. XXVII / MPRS /1966 yang berisi tentang tujuan pendidikan nasional “membentuk manusia Pancasila sejati berdasarkan ketentuan seperti yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945”. Lalu kurikulum 1968 lahir sebagai sebuah pedoman praktik pendidikan yang tersusun untuk pertama kalinya.
Menurut kurikulum ini, tujuan pendidikan nasional adalah : mempertinggi mental, moral, budi pekerti dan memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan, serta membina dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat.
3.2. Gambaran dan Ciri-ciri Kurikulum Pendidikan di Indonesia dalam Perkembangan Sejarah
Berikut ini sekilas diuraikan tentang gambaran dan ciri-ciri kurikulum pendidikan di Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Azwar Abdullah (2007, 243-250).

A. Kurikulum 1947
Kurikulum yang pertama kali diberlakukan di sekolah Indonesia pada awal kemerdekaan ialah kurikulum 1947 yang dimaksudkan untuk melayani kepentingan bangsa Indonesia. Penerbitan UU No. 4 tahun 1950 merumuskan pula tujuan kurikulum menurut jenjang pendidikan. Sekolah mengharuskan menyempurnakan kurikulum 1947 agar lebih disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa Indonesia. Berikut ini ciri-ciri Kurikulum 1947 : a) sifat kurikulum Separated Subject Curriculum (1946-1947), b) menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di sekolah, c) jumlah mata pelajaran : Sekolah Rakyat (SR) – 16 bidang studi, SMP-17 bidang studi dan SMA jurusan B-19 bidang studi, dan d) materi pendidikan dan pengajaran : Mr. Soewandi.

B. Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 ditandai dengan pendekatan peng-organisasian materi pelajaran dengan pengelompokan suatu pelajaran yang berbeda, yang dilakukan secara korelasional (correlated subject curriculum), yaitu mata pelajaran yang satu dikorelasikan dengan mata pelajaran yang lain, walaupun batas demarkasi antar mata pelajaran masih terlihat jelas. Muatan materi masing-masing mata pelajaran masih bersifat teoritis dan belum terikat erat dengan keadaan nyata dalam lingkungan sekitar. Pengorganisasian mata pelajaran secara korelasional itu berangsur-angsur mengarah kepada pendekatan pelajaran yang sudah terpisah-pisah berdasarkan disiplin ilmu pada sekolah-sekolah yang lebih tinggi. Berikut ciri-ciri kurikulum 1968 : a) sifat kurikulum correlated subject, b) jumlah mata pelajaran SD-10 bidang studi, SMP-18 bidang studi (Bahasa Indonesia dibedakan atas Bahasa Indonesia I dan II), SMA jurusan A-18 bidang studi, c) penjurusan di SMA dilakukan di kelas II, dan disederhanakan menjadi dua jurusan, yaitu Sastra Sosial Budaya dan Ilmu Pasti Pengetahuan Alam (PASPAL), dan d) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri, SH (1968 – 1973).

C. Kurikulum 1975
Di dalam kurikulum 1975, pada setiap bidang studi dicantumkan tujuan kurikulum, sedangkan pada setiap pokok bahasan diberikan tujuan instruksional umum yang dijabarkan lebih lanjut dalam berbagai satuan bahasan yang memiliki tujuan instruksional khusus. Dalam proses pembelajaran, guru harus berusaha agar tujuan instruksional khusus dapat dicapai oleh peserta didik, setelah mata pelajaran atau pokok bahasan tertentu disajikan oleh guru. Metode penyampaian satun bahasa ini disebut prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI). Melalui PPSI ini dibuat satuan pelajaran yang berupa rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Berikut ini ciri-ciri kurikulum 1975 : a) sifat kurikulum Integrated Curriculum Organization, b) jumlah mata pelajaran berdasarkan tingkatan SD mempunyai struktur program, yang terdiri atas 9 bidang studi termasuk mata pelajaran PSPB, pelajaran ilmu alam dan ilmu hayat digabung menjadi satu dengan nama Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Pelajaran Ilmu Aljabar dan Ilmu Ukur digabung menjadi satu dengan nama Matematika. JUmlah mata pelajaran di SMP dan SMA menjadi 11 bidang studi, c) penjurusan di SMA dibagi atas 3 yaitu : jurusan IPA, IPS dan Bahasa, penjurusan dimulai di kelas I, pada permulaan semester II, dan d) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Dr. Syarif Thayeb (1973-1978).
D. Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 pada hakikatnya merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. Asumsi yang mendasari penyempurnaan kurikulum 1975 ini adalah bahwa kurikulum merupakan wadah atau tempat proses belajar mengajar berlangsung yang secara dinamis, perlu senantiasa dinilai dan dikembangkan secara terus menerus sesuai dengan kondisi dan perkembangan masyarakat. Berikut ciri-ciri kurikulum 1984 : a) sifat kurikulum content based curriculum, b) program mata pelajaran mencakup 11 bidang studi, c) jumlah mata pelajaran di SMP 11 bidang studi, d) jumlah mata pelajaran di SMA-15 bidang studi untuk program inti dan 4 bidang studi untuk program pilihan, e) penjurusan di SMA dibagi atas 5 (lima) jurusan, yaitu : program A1 (ilmu fisika), program A2 (ilmu biologi), program A3 (ilmu sosial), program A4 (ilmu budaya), program A5 (ilmu agama), f) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Nugroho Notosusanto (1983-1985).
E. Kurikulum 1994
Dengan mendasarkan kepada seluruh proses penyusunan kurikulum pada ketentuan-ketentuan yuridis dan akademis di atas, maka diharapkan kurikulum 1994 telah mampu menjembatani semua kesenjangan yang terdapat dalam dunia pendidikan di sekolah. Namun, harapan itu sepertinya tidak terwujud sebagaimana diperlihatkan oleh sedemikian banyak dan gencarnya keluhan pengelola pendidikan mengenai berbagai kelemahan dan kekurangan kurikulum 1994. Adapun ciri-ciri kurikulum 1994 adalah sebagai berikut : a) sifat kurikulum objective based curriculum, b) nama SMP dan SLTP kejuruan diganti menjadi SLTP (Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama), c) mata pelajaran PSBP dan keterampilan ditiadakan, program pengajaran SD dan SLTP disusun dalam 13 mata pelajaran, nama SMA diganti SMU (Sekolah Menengah Umum), d) program pengajaran di SMU disusun dalam 10 mata pelajaran, e) penjurusan di SMU dilakukan di kelas II, f) penjurusan dibagi atas tiga jurusan, yaitu jurusan IPA, IPS, dan Bahasa, g) SMK memperkenalkan program pendidikan sistem ganda (PSG) dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah Prof. Dr. Ing. Wadiman Djoyonegoro (1993-1998).
Aspek yang dikedepankan dalam kurikulum 1994 ialah terlalu padat, sehingga sangat membebani siswa yang berpengaruh pada merosotnya semangat belajar siswa, sehingga mutu pendidikan pun semakin terpuruk. Akibatnya adalah siswa enggan belajar lama di sekolah. Jika sejak awal siswa dicemaskan dengan mata pelajaran yang menjadi momok di sekolah, maka mereka akan menjadi bosan dan kegiatan belajar mengajar menjadi menyebalkan.
Selain itu, penetapan target kurikulum 1994 dinilai dan dikecam berbagai pihak antara lain sebagai dosa teramat besar dari departemen pendidikan dan kebudayaan yang mengakibatkan kemerosotan kualitas pendidikan secara berkesinambungan tanpa henti (Darmawan, Suara Pembaharuan, 2002) bahwa adanya target kurikulum telah menjadi salah satu factor pemicu untuk penggantian kurikulum baru. Kurikulum 1994 yang padat dengan beban yang telah menghambat diberlakukannya paradigma baru pendidikan dari siswa kepada guru, yang menuntut banyak waktu untuk menyampaikan pandangan dalam rangka pengelolaan pendidikan. Kurikulum yang padat juga melanggengkan konsep pengajaran satu arah, dari guru murid, karena apabila murid diberikan kebebasan mengajukan pendapat, maka diperlukan banyak waktu, sehingga target kurikulum sulit untuk tercapai.
Kesan umum dari kurikulum 1994 pada tingkat SMU, adalah jenjang sekolah ini memberikan tekanan kuat, pada upaya mengarahkan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Praktis tidak ada ruang yang secara langsung dimaksudkan untuk menyiapkan siswa memasuki dunia kerja, antara lain tampak dari tiadanya jam muatan lokal, dan dihapuskannya mata pelajaran keterampilan. Hal ini tampaknya berlandaskan pada isyarat pasal 3 ayat (1) PP No. 29 / 1990. yang menyatakan, “Pendidikan menengah umum mengutamakan persiapan siswa untuk melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan tinggi.”
Memang, secara ideal itu sah-sah saja. Tapi dalam kenyataannya, tidak semua lulusan SMU setiap tahun yang mengikuti UMPTN dapat diterima, hanya sekitar 10 % saja yang lolos. Sebagian, lulusan SMU memang ditampung oleh Perguruan Tinggi Swasta (PTS), tapi itu hanya ada separuhnya. Selebihnya mengambil kursus atau terjun langsung ke masyarakat dan mencari kerja. Padahal mereka tidak disiapkan untuk itu, kecuali dengan bekal yang diperolehnya dari materi program pengajaran umum dan khusus. Jadi, mereka dihadapkan pada situasi antara berenang dan tenggelam (Dedi Supriadi, 1997).
F. Kurikulum 2004
Harapan masyarakat terhadap kurikulum pendidikan di Indonesia, pada hakikatnya adalah adanya komunikasi dua arah yang memungkinkan kegiatan belajar mengajar menjadi interaktif dan menyenangkan, baik bagi siswa maupun bagi guru. Belajar menyenangkan itulah sebenarnya konsep pendidikan yang dapat membawa peserta didik (siswa) untuk menguasai kompetensi akademik, kompetensi sosial, dan kompetensi kepribadian. Harapan-harapan inilah yang seharusnya diakomodasi di dalam penyusunan kurikulum.
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang hanya berlaku sampai tahun 2006 di sekolah-sekolah pada dasarnya adalah merupakan gagasan dari Kurikulum Berbasis Kemampuan Dasar (KBKD) yang pernah diperkenalkan oleh Boediono dan Ella (1999), yang memfokuskan pada wujud pertumbuhan dan perkembangan potensi peserta didik. KBK merupakan perangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai oleh siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. Berikut ini ciri-ciri kurikulum 2004 (KBK) : a) sifat kurikulum Competency Based Curriculum, b) penyebutan SLTP menjadi SMP, c) penyebutan SMU menjadi SMA, d) program pengajaran di SD disusun dalam 7 mata pelajaran, e) program pengajaran di SMP disusun dalam 11 mata pelajaran, f) program pengajaran di SMA disusun dalam 17 mata pelajaran, g) penjurusan di SMA dilakukan di kelas II, h) penjurusan dibagi atas 3 jurusan, yaitu : Ilmu Alam, Ilmu Sosial, dan Bahasa, dan i) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. H. Abdul Malik Fajar (2001-2004).
Berhubung kurikulum 2004 yang memfokuskan aspek kompetensi siswa, maka prinsip pembelajaran adalah berpusat pada siswa dan menggunakan pendekatan menyeluruh dan kemitraan, serta mengutamakan proses pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning atau CTL)
Dalam pelaksanaan kurikulum yang memegang peranan penting adalah guru. Guru diibaratkan manusia dibalik senjata kosong yang tidak berpeluru. Oleh karena itu, diperlukan kreativitas guru untuk mengisi senjata itu dan membidiknya dengan cermat dan tepat mengenai sasaran. Keberhasilan kurikulum lebih banyak ditentukan oleh kualitas dan kompetensi guru. Oleh karenanya, tidak berlebihan apabila dalam diskusi mengenai “Potret Pendidikan di Indonesia dan Peran Guru Swasta”, J. Drost (2002) menegaskan bahwa materi kurikulum, terutama untuk mata pelajaran dasar, di seluruh dunia pada dasarnya sama. Yang membedakannya adalah cara guru mengajar di depan kelas.
Inti dari KBK atau kurikulum 2004 adalah terletak pada empat aspek utama, yaitu : 1) kurikulum dan hasil belajar, 2) pengelolaan kurikulum berbasis sekolah, 3) kegiatan belajar mengajar, dan 4) evaluasi dengan penilaian berbasis kelas.
Kurikulum dan hasil belajar memuat perencanaan pengembangan kompetensi peserta didik yang perlu dicapai secara keseluruhan sejak lahir sampai usia 18 tahun. Kurikulum dan hasil belajar ini memuat kompetensi, hasil belajar dan indikator dari TK (Taman Kanak-kanak) dan Raudhatul Athfal (RA) sampai dengan kelas XII (kelas III SMA). Penilaian berbasis kelas memuat prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik melalui identifikasi kompetensi atau hasil belajar yang telah dicapai, pernyataan yang jelas tentang standar yang harus dan telah dicapai, serta peta kemajuan belajar siswa dan pelaporan. Kegiatan belajar mengajar memuat gagasan pokok tentang pembelajaran dan pengajaran untuk mencapai kompetensi yang ditetapkan, serta gagasan-gagasan pedagogis dan andragogis yang mengelola pembelajaran agar tidak mekanistik. Pengelolaan kurikulum berbasis sekolah memuat berbagai pola pemberdayaan tenaga kependidikan dan sumber daya lain untuk meningkatkan mutu hasil belajar. Pola ini dilengkapi pula dengan gagasan pembentukan jaringan kurikulum (curriculum council), pengembangan perangkat kurikulum, antara lain silabus, pembinaan professional tenaga kependidikan, dan pengembangan sistem informasi kurikulum.
Peran dan tanggung jawab dalam pengelolaan kurikulum berbasis sekolah diberikan kepada sekolah. Dinas Pendidikan Kabupaten / Kota, Dinas Pendidikan Provinsi dan Tingkat Pusat. Peran dan tanggung jawab sekolah untuk meningkatkan komunikasi dengan berbagai pihak untuk mensosialisasikan konsep KBK, menetapkan tahap dan administrasi KBK, menata ulang KBK penempatan guru pada kelas secara optimal, memberdayakan semua sumber daya dan dana sekolah, termasuk dalam melibatkan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah untuk pelaksanaan kurikulum secara bermutu (Puskur, Balitbang Depdikbud, 2002)
G. Kurikulum 2006
Kurikulum 2006 atau yang dikenal dengan nama Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum terakhir yang diberlakukan. Namun pada hakikatnya merupakan kelanjutan dari kurikulum 2004. Sebab tidak banyak perubahan berarti yang dilakukan. Yang tampak jelas berubah adalah penentuan mata pelajaran masing-masing bidang studi dengan penjabaran aspek-aspeknya. Persoalan baru itulah yang dirasakan oleh guru menjadi beban berat. Belum lagi soal kerepotan dan kerumitan nilai dalam proses evaluasi belajarnya. Dengan dasar Permendiknas Nomor 22, 23 dan 24 tentang Standar Isi (SI) dan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) serta peraturan pelaksanaannya, maka kurikulum 2006 diberlakukan untuk menyempurnakan kurikulum sebelumnya yang baru berusia dua tahun. Dalam pelaksanaannya kurikulum terbaru tersebut mengalami berbagai kendala. Terutama persoalan minimnya sosialisasi dan kesiapan sarana dan prasarana pendukung pendidikan dan terutama sekali kesiapan guru dan sekolah untuk menyusun dan mengembangkan kurikulum sendiri. Namun oleh Depdiknas persoalan itu diantisipasi dengan diluncurkannya panduan KTSP yang disusun oleh BSNP. Kenyataannya sampai saat ini kurikulum 2006 itu terkesan masih dijalankan dengan setengah hati karena berbagai kebijakan dan landasan yuridisnya belum dipenuhi secara konsekuen oleh pemerintah.
3.3. Bongkar Pasang Kurikulum
Dikembangkannya berbagai uji coba kurikulum, mulai dari apresiasi atas peran swasta, seperti penggunaan system modul atau sekolah pembangunan yang berorientasi pada kerja, sampai pada uji coba sistem cara belajar siswa aktif (CBSA), tampaknya tidak menyurutkan hasrat pemerintah untuk selalu melakukan berbagai upaya penggantian dan uji coba kurikulum.
Kesempatan memberikan apresiasi pada peran swasta pada awalnya tampak bagus, namun pada akhirnya setelah melihat kondisi liberatif, pemerintah kemudian mengambil alih kendali seluruh praktik pendidikan. Pendidikan yang tadinya liberatif desentralistis, ditarik kembali ke semangat deliberatif dan sentralistis. Pihak swasta tidak lagi dipandang sebagai partner, tetapi sebagai pesaing. Kini otonomi daerah diberlakukan seiring dengan reformasi pemerintahan. Namun lagi-lagi, masalah pendidikan yang diotonomikan di daerah di seluruh Indonesia, tidak lebih baik dari sebelumnya. Timbul banyak masalah, mulai dari penyalahgunaan Dana Bantuan Operasional (BOS) sekolah, sampai pada pengangkatan Guru Bantu dan Tenaga Honorer yang carut marut (Susanto dan Rejeki, Kompas, 11 Juli 2005).
Ketika kurikulum 1968 dicabut dan digantikan dengan kurikulum 1975, tidak membuat praktek pendidikan di tanah air semakin membaik. Bahkan ketika sekolah belum semua menggunakan kurikulum 1975, mulai dirasakan, bahwa kurikulum ini sudah tidak bisa mengejar kemajuan pesat masyarakat. Kemudian lahirlah kurikulum 1984. Sebagai tindak lanjutnya maka pemerintah menerbitkan UU No. 2 Tahun 1989. Undang-undang yang dihasilkan secara terencana lewat sebuah panitia penilai pun tidak lepas dari kritik. Kurikulum 1984 kemudian dianggap sangat sarat dengan beban, lantas muncul lagi kurikulum baru 1994 yang lebih sederhana. Lagi-lagi kepentingan politik praktis lebih menonjol ketimbang berpijak dan berpihak pada kepentingan guru dan anak didik.
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 pun dibanti, dan setelah lewat proses yang panjang dan menuai banyak kritik, baru terealisasi pada tahun 2003. Bersamaan dengan lahirnya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, maka hadir pula kurikulum baru 2004 atau kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang isinya memuat sejumlah kompetensi yang harus dikuasai oleh setiap lulusan (Permanasari, Kompas, 30 Desember 2005).
Dalam praktek di lapangan, jangankan KBK, di banyak daerah pedalaman Indonesia, masih ada sekolah yang belum sempat mempraktekkan kurikulum 1994, seperti yang diungkapkan oleh dua orang guru dari pedalaman Tapanuli Selatan Sumatera Utara, masing-masing Ridwan Dalimunthe dan Raja Dima Siregar (Sularto, ST, Kompas, 16 Agustus 2005)
Meskipun selalu dibungkus dengan istilah penyempurnaan pergantian kurikulum, tetap tidak terhindarkan dari kegiatan perombakan kebijakan. Kita menghargai adanye pembenahan kurikulum yang belum sempat tersosialisasi dengan baik, namun perlu mendapatkan pengkajian dan riset terlebih dahulu dari berbagai aspek, termasuk memperhitungakan kelengkapan sarana persekolahan, dan kesiapan guru dan murid. Pertimbangannya adalah apabila penggantian kurikulum tidak dibarengi dengan pembenahan infrastruktur dan standar pelayanan yang baik, ujung-ujungnya adalah kurikulum baru akan tetap tidak merakyat dan membumi di dalam proses belajar mengajar. Dan praktek pendidikan secara keseluruhan. Bahkan bisa muncul lagi kurikulum baru yang dikutak-katik oleh pejabat atau Mendiknas yang baru. Kalau demikian adanya, maka memang Indonesia (Pemerintah) benar-benar tidak memiliki visi dan misi yang jelas tentang arah dan tujuan pendidikan nasional. Kecenderungannya adalah akan terbukti, bahwa rencana perubahan kurikulum yang setiap waktu lebih bersifat mega proyek, ketimbang kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara, yang membutuhkan pelayanan pendidikan secara baik (Sularto, ST, Kompas, 22 Februari 2006).

IV. Bagaimana Sekolah dan Guru Menyikapi
Guru dan pihak sekolah, sebaiknya berani bersikap mandiri dan tidak dibingungkan oleh keputusan pemerintah yang berencana mengubah kurikulum. Sekolah yang memiliki kemampuan untuk mengemas dan merekayasa kurikulum sendiri diharapkan tetap punya keyakinan untuk tidak didikte oleh kurikulum nasional, yang dalam penerapannya mungkin saja sangat detail, tanpa mempertimbangkan aspek muatan lokal, kondisi sosial, budaya masyarakat di daerah tempat sekolah berada. Dalam konteks ini, sekolah, guru dan murid harus yakin dengan pendiriannya (Ali, Kompas, 21 Februari 2006).
Yang jelas dan penting bagi guru adalah kesadaran untuk menerapkan prinsip-prinsip dan idealisme dalam pendidikan. Hal tersebut perlu untuk membentengi diri jangan timbul kesan bahwa perubahan kurikulum dilakukan, karena adanya ketidaksiapan guru dalam pelaksanaan kurikulum (Suparno, Kompas 27 Februari 2006). Tidak kalah pentingnya, bahwa pembatalan kurikulum KBK, mencerminkan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan di Indonesia yang selama ini hanya dilakukan dengan kurikulum coba-coba, tanpa ada pengkajian dan riset yang mendalam. Anggaran pendidikan kita selama ini hanya habis untuk urusan uji coba. Dengan demikian, jangankan untuk meningkatkan mutu pendidikan, apalagi untuk kesejahteraan guru dan dosen, sangat jauh dari harapan kita semua (Abduhzen, Kompas, 28 Februari 2006).
Jadi, hal yang penting menjadi pertimbangan bagi para pengambil keputusan di bidang pendidikan, adalah bahwa hendaknya perubahan kebijakan yang diambil tidak dilakukan secara mendadak, tetapi perlu perencanaan yang matang, dan sosialisasi merupakan kata kunci yang penting untuk menjamin siswa, guru dan sekolah tidak menjadi korban perubahan tersebut (Elin, Kompas, 24 Juli 2006).

V. Simpulan dan Saran
A. Simpulan
Perjalanan pendidikan dan kurikulumnya sepanjang sejarah bangsa Indonesia merdeka, menunjukkan praktek pendidikan tidak pernah lepas dari metode uji coba kebijaksanaan di bidang pendidikan. Begitu mudah berubah. Kurikulum pendidikan yang seharusnya tidak gampang diubah, sebelum ada pengkajian dan riset yang mendalam, telah menyebabkan sekor pendidikan di tanah air belum mampu mengatasi ketertinggalan bangsa ini dalam mengikuti kompetisi regional dan global.
Dampak berikutnya, banyak kebijakan yang dilakukan sebagai kebijakan yang bersifat instant dan tidak didasari atas pertimbangan pedagogis edukatif. Ke depan yang perlu dilakukan bukan mengkutak-katik kurikulum yang sudah ada, melainkan kita harus memusatkan perhatian yang serius pada pembenahan infrastruktur persekolahan yang banyak mengalami kerusakan, seperti gedung-gedung, sekolah yang telah runtuh dimakan usia. Selain itu perhatian serius juga harus dipusatkan pada peningkatan kesejahteraan tenaga guru dan dosen, pemberian akses kesempatan belajar yang seluas-luasnya bagi anak-anak didik sebagai garda terdepan bangsa dalam memajukan pendidikan nasional.
Catatan sejarah tentang pelapukan terhadap praktik pendidikan dan kurikulumnya, harus segera diperbaiki kembali dengan memfokuskan perhatian pada isi, visi, misi dan orientasi pendidikan yang berlandaskan pada pendidikan untuk semua rakyat Indonesia tanpa terkecuali. Saatnyalah pemerintah menjadikan pilar pendidikan sebagai prioritas utama pembangunan nasional bangsa ke depan. Saya khawatir sepuluh tahun yang akan dating bangsa kita akan menjadi bangsa buruh atau kuli di negerinya sendiri. Sekarang saja kita jauh tertinggal dengan Negara-negara sesama anggota ASEAN lainnya. Kalau tidak segera pendidikan di tanah air dijadikan prioritas utama pembangunan, sebenarnya secara kultural, bangsa ini sudah menggali liang lahatnya sendiri. Semoga hal ini tidak terjadi dan menjadi mimpi buruk bagi bangsa kita.
B. Saran
Memperhatikan situasi dan kondisi pengelolaan pendidikan di Indonesia, sebagaimana yang telah diuraikan di atas, maka ada lima hal yang perlu dilakukan suatu pergantian kurikulum atau pemberlakuan kurikulum baru, yaitu : 1) sebelum kurikulum baru ditetapkan, guru di seluruh Indonesia harus dibantu memahami isi dan hakekat kurikulum yang baru itu. Oleh karena itu, perlu sosialisasi yang sungguh merata di seluruh Indonesia. Pemerintah tidak boleh berasumsi atau menganggap bahwa guru akan tahu sendiri, atau mereka akan belajar sendiri setelah kurikulum ditetapkan, 2) untuk mempercepat sosialisasi, teks kurikulum yang sudah ditatar dengan kurikulum baru itu diterjunkan ke seluruh daerah untuk membantu sosialisasi, 3) media komunikasi, surat kabar, dan jaringan internet dapat digunakan sebagai media sosialisasi kurikulum yang baru, sehingga dapat terjangkau lebih cepat di seluruh pelosok Indonesia, 4) guru perlu dibantu agar dapat menyikapi kurikulum apapun secara bijak, sehingga tidak menjadi bingung. Guru perlu menyadari, bahwa meskipun kurikulum nantinya tidak lagi menggunakan KBK, namun mereka telah terbantu dalam proses kegiatan belajar mengajar KBK. Guru perlu dibantu bersikap cerdas untuk mengambil hal yang sungguh baik dan berguna dari kurikulum KBK ataupun kurikulum lama, meskipun kurikulum baru ditetapkan, 5) sangat penting bagi guru untuk mengembangkan sikap terbuka dan kemandirian dan percaya diri. Sebab bagaimanapun juga, guru masih tetap menjadi pilar utama dan ujung tombak dalam proses pencerdasan kehidupan bangsa tanpa harus terbelenggu dan terkungkung oleh perubahan kurikulum pendidikan yang diberlakukan

3 comments: